Namaku Dex.
Dexter.
Macho dan macam bule bukan?
Tp aku betina. Persisnya seekor kucing betina. Asli Indonesia, aku lahir dan besar di jalanan. Sekitar parit depan Mall Lembuswana, yang selalu banjir itu (tau kan?). Ibuku jenis angora, kuharap begitu (memanipulasi histori hidup dan silsilah sah-sah saja kan? Ini kupelajari dari manusia) . Jika ditelisik dari gen ibu, aku termasuk jenis unggul dalam spesiesku. So hargaku bisa selangit berbanding teman-temanku yang lain. Kononnya begitu, kelak aku mengetahuinya dari cerita-cerita manusia.
Entah bapakku. Bisa jenis apa aja. Mungkin kucing garong .
Who care?
Kayaknya gennya resesif
Kerana yang jelas, aku memiliki bulu yang sangat indah.
Lebat. Putih.
Ada warna kelabu dikit di ujung ekorku.
Di atas mata kakiku pun ada bintik kelabu, mirip tanda lahir gitu.
Kadang manusia singgah hanya untuk sekedar membelai buluku. Tubuhku agak kotor, aku tak pernah mandi. Tapi mereka masih saja mengagumiku, padahal aku bukan satu-satunya kucing yang ada di kawasan itu. Aku sudah biasa menerima pujian manusia, seperti suatu hari itu. Pada petang yang basah…
“Ih, comelnya!” , kata bubuhan cewek yang kerap lalu lalang ke Lembuswana untuk shopping.
“ Imutnya pang! Kyut”, kata ABG yang berseragam sekolah itu.
Kucing-kucing lain yang menyaksikan pada iri hati.
Mereka melirikku dengan sinis. Mulut mereka mendesis.
Mereka bilang aku sok cakep.
Belagu! Narsis !
So what?
Sirik tanda tak mampu, kata manusia. Jadi aku cuek aja.
Realitasnya memang begitu. Kalau aku memicing, sambil mengeong lemah, para manusia itu akan tertawa gemes melihatku. Apalagi jika aku meliuk-liukkan tubuhku dengan manja di kaki mereka, mereka akan membungkuk membelaiku. Beda dengan kucing-kucing lainnya itu. Mereka kerap kena tending dan diusir oleh manusia. Apalagi jika mereka masuk ke warung makan atau café-café dekat pelataran parkir Mall. Dilempari tulang ikan, syukur. Lha ini dilempari batu. Gossip di kalangan kucing sih, keadaan di sekitar SCP (Samarinda Central Plaza) pun sama aja.
So, aku merasa bertuah.
Betapa tidak, berkat buluku yang lebat, putih dan halus lembut, aku diambil seorang perempuan muda yang baru saja selesai shopping di butik mahal dalam kompleks Mall Lembuswana (bukan dipungut lho, aku nggak suka istilah itu). Aku nurut aja dimasukkan ke dalam mobilnya. Sejuk dan wangi. Lama hidup di jalanan bikin aku tau mobil kayak gini nih mungkin hanya ada 2 atau 3 buah aja di kota ini. Aku duduk manis di jok sebelahnya. Kudengar Norah Jones mengalun. Mantap, pikirku.
“Puss..pussy…mulai sekarang, kamu akan punya rumah. Kamu suka kan?” perempuan itu bicara padaku tanpa menoleh. Jemarinya yang lentik lincah menggerakkan setir bundar di depannya. Tatapannya fokus ke jalan raya. Sesekali dia membetulkan letak kaca spion di atasnya.
“Meooong….”
Tentu saja, jawabku. Sudah lama aku muak hidup sebagai hewan jalanan. Nggak sesuai untuk yang jinak sepertiku. Kubayangkan sebuah rumah yang lux, nan mewah. Tilam yang empuk, makanan yang sedap. Kubayangkan ikan haruan besar di atas meja…
Tapi, aku bukan pussy...
“Meoooooooongg..”, protesku.
Namaku Dex. Dexter
Dia tak peduli. Jelas dia tidak paham bahasaku.
Lantas dia berceloteh tentang kesepiannya. Malam-malam galau yang dilaluinya. Hari-hari sunyi yang membelenggunya.
“aku dipasung rindu. Juga benci”, kisahnya. Seolah sedang curhat pada manusia. aku melongok keluar. Simpang Jalan Kusuma Bangsa telah dilewati. Mobilnya melaju menuju sebuah perumahan elit.
Maksudmu?
“Suamiku…video mesumnya dengan anak petinggi itu yang nggak tahan” suaranya mulai serak
Bahwa suaminya sejak lama selingkuh, dia memang tahu. Lalu?
“Jadi tontonan ramai”
katanya ada di You Tube, facebook, twitter, hape, pokoknya tersebarlah. Tapi tak tersentuh hukum. Nggak ngefek. Pasalnya, anak petinggi itu putri salah satu orang kuat di daerah ini. Suaminyapun licin bila berurusan dengan hukum. Sekarang semua orang pandai ngeles di hadapan hukum. Padahal kurang bukti apa coba?
“Aku malu. Sakit Pussy, hatiku remuk…hu huu huuuu…” tangisnya pecah.
Aku menatapnya iba. Dexter bisa mengerti perasaanmu. Tidak bisakah kau berbuat sesuatu?
“Bisa apa aku? Hanya numpang hidup pada suami. Bodohnya aku”, sesalnya seseguk.
Katanya, suaminya kini hanya pulang sesekali. Lalu pergi lagi berbulan-bulan. Hanya meninggalkan ATM, kartu kredit, dan pakaian kotornya dengan aroma tubuh wanita lain. Perselingkuhannya dengan anak petinggi itu masih berlanjut sedang jiwanya yang kering tak pernah disentuh. Bukan sekali. Berkali-kali.
Mobil kini telah menepi, depan sebuah rumah mewah yang pagarnya bisa terbuka otomatis. Mesin mobil dimatikan. Lalu mendadak dia menoleh ke arahku. Seketika riak wajahnya berubah pelik. Drastis.
“Nah Pussy, malam ini dia akan pulang. Aku akan masak “menu spesial”, hidangan yang tidak akan pernah diduganya. Ada kamu kan?”
Dia menggendongku erat-erat masuk ke dalam rumah. Lengang. Di dalam dapurnya yang sangat besar, omongannya semakin ngawur dan asyik menyebutku pussy…
Yaelah, pussy lagi…tapi nggak apa apa. Kucing mana yang nggak bahagia klu judulnya masak dan makan-makan. Setidaknya perempuan itu nggak feeling blue lagi.
Tapi, wait…wait…apa maksudnya tadi dengan ada kamu kan?
Kutatap matanya curiga
Seolah tahu kegelisanku, dia mengangkat tubuhku tinggi.
Terpaku kutatap sorot matanya. Pelik. Tersenyum menyeringai.
Aku mulai merasa nggak enak. Tubuhku jadi beku. Hatiku mulai gemuruh.
Kucoba mengeong, suaraku tercekat.
Kucoba mengibaskan ekorku. Kaku.
Kugerakkan tanganku, dan mencoba meloncat kebawah. Nggak bisa.
Kugerakkan cakarku. Masih nggak bisa.
Duh, apa yang terjadi???
Bagaimanapun sebagai seekor binatang, aku punya naluri liar. Sepatutnya aku mampu bertindak buas jika sedang terancam. Normalnya aku bisa menyerang, meronta-ronta, menggigit, mencakar. Minimal mengeong
geram.
Ooohh..apa aku telah jadi kucing lumpuh? Celaka!
Mungkin karena selama ini aku kurang gerak, malas berburu tikus, jadi aku kurang tangkas.
Horror itu semakin jelas.
Kubayangkan dia menyembelihku, memotong-motong tubuhku, dan memasukkannya ke dalam hidangan “special” untuk suaminya itu. Aku baru sadar bahwa aku akan dikorbankan untuk melunasi sebuah dendam. Dan sebelum aku betul-betul yakin dengan kesadaranku itu, dia mencekeram leherku. Secepat kilat sebilah parang terhayun dari tangannya yang kanan.
Lalu kulihat merah.
Darahku sendiri.
Aku hanya sempat menjerit sedikit.
Kemudian semuany menjadi gelap###
[nukilan asal : UNI SAGENA]